Mengenal Budaya Islam Samadiyah di Aceh

Budaya takziah di Aceh
Budaya Islami, Takziah di Aceh

Mengenal budaya takziah di paling Ujungnya Indonesia. Takziah adalah melakukan kunjungan ke kerabat yang sedang berduka cita untuk mengirimkan sebuah dia atau menyatakan turut berduka cita atau turut berbelasungkawa dan menghibur hati orang yang mendapat musibah.

Pertama kali ingin membahas suatu budaya. Sayangnya, untuk kali ini budaya yang akan dibahas tentang kepergian seseorang yang kembali pada tuhan atau disebut dengan kematian atau orang meninggal.

Saya tertarik menuliskan ini, karena tepat di tahun ini, saya kembali di tinggalkan oleh nenek - kakek saya. Tapi yang menjadi sumber inspirasi saya menulis adalah disaat kepergian nenek saya, yang telah berpulang di 18 Agustus 2022 kemarin.

Sebagai salah satu penduduk yang tinggal di bagian paling ujung Indonesia, saya sedikit demi sedikit akhirnya memahami suatu budaya.

Kota kelahiran yang sempat memberikan saya kenangan selama dua tahun membuat saya tidak begitu mengerti akan budaya disana.

Kini di provinsi yang saya tinggali selama 22 tahun, banyak di kenali orang luar dengan sebutan suku Batak atau tanah Batak. Ya, walaupun saya bukan asli keturunan batak. Yang bernama Sumatera Utara

Tapi aslinya suku batak atau sebutan tanah batak, lebih dominan berada di Samosir. Sedangkan Kota Medan dan kabupaten lainnya, di dominasi oleh suku melayu.

Artikel kali ini mungkin sedikit berbeda dari artikel lainnya yang ada di Pohonketela, tapi entah mengapa saya tertarik untuk membahas ini. Seperti,

"Wah, saya baru mengetahui budaya disini, Orang lain juga harus tau, walaupun saya tidak membahasnya secara detail".

Menurut saya, saya ingin mengabadikan ini, sambil bertanya - tanya dalam pikiran,
"Budaya di daerah orang lain, bagaimana ya?".

Karena tinggalnya di Sumatera, saya jadi tertarik nih, membahas Budaya Aceh dan budaya di Kota yang saya Tinggali, yaitu Kota Kisaran.

Berikut merupakan tradisi takziah dari Kota Kisaran dan juga Aceh. 

Budaya Masyarakat Kisaran, Asahan

Oh iya, saat ini saya sudah 22 tahun tinggal di Kota Kisaran, salah satu kota yang ada si Sumatera Utara.

Kota Kisaran dikenal banyaknya penduduk dengan suku Melayu. Aslinya memang masyarakat sini serba campur aduk, ada yang bermarga batak pastinya, Padang, Melayu, Jawa, Aceh dan lainnya. Hanya saja lebih dominan Melayu. Informasi ini pernah saya dapati saat belajar di sekolah dulu.

Selama tinggal di kota ini saya memperhatikan takziah hanya di lakukan pada malam pertama hingga malam ketiga setelah mayat di kebumikan.

Selanjutnya akan dilakukan takziah kembali pada hari ke 7, hari ke - 40, hingga hari ke - 100. Itupun tergantung kepada keluarga masing - masing akan di buat atau tidak.

Terlebih lagi, semenjak kehadiran COVID-19, takziah dilakukan hanya sekali saja. Namun di lingkungan saya, dari awal covid ada, bahkan informasi agar masjid pun di tutup juga, sholat jumat di batasi. Sayangnya, itu tidak berlaku di daerah saya, tepatnya di Masjid Haji Kasim Kota Kisaran Timur.

Salat tetap di laksanakan, bukan hanya lima waktu saja, salat jumat, idul fitri dan idul adha. Masjid ini tetap ramai di kunjungi, tanpa ada batasan. Syukur Alhamdulillah pula, sejauh ini tidak ada wabah tersebut menghampiri lingkungan ini.

Beberapa perwiritan masih tetap di adakan, walau di beberapa ahlul - bait hanya memberikan bontot saja, tidak dilakukan pembacaan Yasin atau doa semacamnya.

Sebelum saya melanjutkan beberapa poin mengenai bagaimana budaya Takziah di Aceh, sedikit saya selipkan sebuah cerita tentang kepergian nenek. 

Singkat Cerita Nenek Berpulang

Menulis dengan perasaan yang masih berduka. Bagaimana tidak saat di beri kabar bahwa nenek sakitnya lebih parah, membuat saya sekeluarga langsung pergi ke kampung halaman, ayah ibu tetap tinggal untuk mengurus nenek.

Sedangkan saya dan si sulung harus kembali kerumah karena ada kegiatan masing - masing. Walau hanya semalam setidaknya sudah bertatap muka dengan beliau. Siapa yang bisa menerka akan takdir Tuhan? Siang saya pulang bersama saudara sulung saya. Malamnya nenek telah berpulang.

Padahal kondisi saya dan sulung masih dalam perjalanan, sekitar empat jam kemudian akan tiba di rumah. Tentu saja, kabar duka itu disembunyikan ayah, dan di kabari setelah kami sampai di rumah.

Dari dulu, saya memang begitu tertarik sekali dengan budaya Aceh. Setiap pulang kampung, hati saya begitu teduh. Karena saya merasa bahwa di tempat saya tinggal, tidak ada yang seperti ini.

Seperti anak - anak yang rajin mengaji hingga bersholawat di masjid. Intinya ya, poin utama mereka adalah beribadah. Tidak heran jika Aceh disebut - sebut dengan Kotanya Serambi Mekah.

Saya selalu memperhatikan saudara saya di kampung, disaat mereka telah selesai pulang sekolah, beberes sejenak, makan siang, sholat, lalu lanjut ke mengaji hingga sore hari.

waktu bermain? ada! Waktu belajar? ada!

Yang pasti mereka menggunakan waktu dengan sebaik mungkin. Mungkin saja ilmu keagamaan saya dengan mereka bisa saja kalah.

Oh iya, pada saat Nenek berpulang, saya sempat memberi pesan kepada ayah dan Ibu untuk tetap tinggal disana sementara. Karena yang saya tahu, di Aceh itu yang takziah atau membaca doa pasti akan selalu ramai bukan hanya tiga hari saja.

Kurang lebih paling sebentar ya cuma tujuh hari. Agar tidak terlalu bertele, berikut merupakan budaya takziah yang ingin saya perkenalkan.

Budaya Takziah/Tahlilan Masyarakat Aceh

Berikut merupakan beberapa yang dapat di pahami untuk mengetahui budaya takziah di Aceh.

1. Tamu terus Berdatangan Hingga Hari ke-7

Jika sebelumnya di kota tempat tinggal saya takziah di lakukan hanya tiga hari saja. Di Aceh, takziah akan terus di laksanakan hingga hari ke-tujuh. Bahkan tamu terus berdatangan ramai tanpa henti.

Biasanya, para tamu yang datang bukan hanya datang di malam hari saja, tetapi di mulai dari pagi hari hingga malam hari, terus menerus dari orang yang berbeda. Kadang juga dari luar daerah.

Kehadiran mereka biasanya membaca surah yasin, Sholawat dan semacamnya. Untuk memberikan hadiah ke pada almarhumah.

Dan para tamu selalu datang berombongan. Entah sanak saudara yang jauh, bahkan anak - anak pesantren juga turut berdatangan untuk membaca yasin. Seorang ustad yang membawa anak santri mengatakan bahwa mereka (anak - anak) yang di bawa sudah dapat di pastikan lulus dalam bacaan Al-Quran termasuk membaca surah Yasin.

Rekaman video di atas merupakan sekumpulan anak - anak pesantren yang antusias mengikuti tahlilan.

2. Samadiyah

Samadiyah merupakan salah satu ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh untuk mendoakan yang telah meninggal dunia.

Samadiyah juga bisa disebut dengan tahlilan, untuk mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya di lakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, hari ke-100, ke-satu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Bahkan ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

Kegiatan ini bukan merupakan suatu kegiatan yang bersifat wajib. Orang - orang boleh melakukannya atau tidak, samadiyah bukanlah kewajiban tapi bid'ah, dan merupakan dusta dan megada - ada jika tahlilan ini dihitung sebagai rukun.

Samadiyah adalah pilihan bebas bagi setiap orang dan keluarga berkaitan dengan keinginan mendoakan orangtua mereka ataukah tidak.

Di Indonesia, tahlilan masih membudaya, sehingga istilah dari "tahlilan" kini dikonotasikan untuk memperingati dan mendoakan orang yang sudah meninggal. Tahlilan dilakukan bukan sekadar berkumpul semata mengikuti kebiasaan zaman dulu.

Kini, generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan berkumpul seperti itu. Jika pun tahlilan masih dilakukan sampai sekarang, itu karena setiap anak pasti menginginkan orangtuanya meninggal masuk surga.

Sebagaimana yang telah di ketahui oleh banyaknya sekolompok muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orangtuanya merupakan impian semua orang. Oleh karena itu setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka.

Dari sinilah, keluarga mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orangtua mereka yang meninggal dan dilakukan oleh lebih banyak orang lagi (berjama'ah).

Maka di undanglah orang - orang untuk itu, dan menyuguhkan berupa sedekah, guna sekadar suguhan kecil. Kegiatan ini juga bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram.

Suguhan berupa sedekah itu hanya berhak untuk orang miskin, yatim piatu, orang cacat, orang yang kesulitan.

Hal tersebut dilakukan karena berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri dan orang yang berhak mendapat sedekah yaitu: fakir miskin, orang cacat, anak yatim, dan orang lanjut usia.

Jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orangtuanya, maka dia  tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat. Tidak makruh tapi haram. Anak seperti ini pasti juga orang yang yang tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak.

Saya juga baru mengetahui hal ini dari ibu yang bertanya kepada saya soal Samadiyah ini. Jika ibu tidak bertanya kepada saya, saya pun tidak akan memahami apa itu samadiyah.

Ibu juga kurang memahami apa itu samadiyah, karena kita lebih lama di kota tempat tinggal sekarang. Kata Ibu, alm. nenek dulunya pernah menitipkan amanah jika sudah tiada untuk melakukan tarekat dan samadiyah.

Mungkin, ini bentuk dari pengingat agar terus mendoakan almarhumah dengan cara dzikir, sholawat, dan juga membaca yasin.

Sedari dulu, saya juga selalu memperhatikan satu hal, sebelum ramadhan bahkan hingga lebaran tiba sepulang dari masjid beberapa masyarakat menyempatkan untuk membaca yasin di kuburan orang tersayang.

Guna, mengirimkan doa dan membaca yasin dan sampai kepada yang di dalam kubur.

Itulah, beberapa hal yang dapat di pahami dari budaya keislaman di Aceh.

Terima kasih telah membaca tulisan ini sampai akhir. Jika berkenan, boleh dong tinggalkan jejak di kolom komentar asal daerah bagaimana budaya takjiah dari setiap daerah anda?

Posting Komentar untuk "Mengenal Budaya Islam Samadiyah di Aceh"